Assalamualaikum wr wb, salam cerdas kreatif
Dalam kenyataannya ada dua bentuk motivasi, yaitu eksternal dan internal. Yang eksternal datang dari luar diri. Artinya ada orang lain atau situasi yang mendorong seseorang itu melakukan sesuatu. Misalnya orangtua atau guru memaksa anak-siswanya untuk mengerjakan PR atau yang lain. Saat orangtua atau guru tidak ada di sana, si anak cenderung bermalas-malasan atau mengerjakan hal lain yang dia suka. Dengan kata lain, motivasi eksternal tergantung pada situasi dan mood.
Sedangkan motivasi internal muncul dari dalam diri. Kalau orangtua ingin anak belajar tanpa disuruh, sangat suka membaca, dan sebagainya, orangtua harus membangun motivasi internal. Ini dilakukan sejak anak kecil, mulai dari membangun kepercayaan anak terhadap orangtua (yang nantinya bermuara pada iman kepada Tuhan). Motivasi, baik eksternal maupun internal, kadang-kadang membutuhkan sesuatu yang buruk (penderitaan, masalah) untuk membangunnya. Dari orangtua, perlu ada komitmen, teladan, dan kreativitas.
Anak Belajar
Salah satu motivasi yang perlu dibangun dalam diri anak adalah keinginan belajar. Sebenarnya potensinya sudah ada sejak anak masih sangat kecil. Lihat saja, hampir semua bayi di bawah dua tahun yang kita jumpai pasti menunjukkan tanda-tanda pandai dan mau belajar. Mereka mau belajar makan sendiri, main bola atau yang lain, belajar menulis, membantu menyapu, dan sebagainya. Sekarang tergantung pada lingkungan, apakah orang-orang di sekitarnya membantu dia belajar atau membatasinya.
Orang dewasa tanpa sadar dapat mematikan semangat belajar anak dengan cara banyak melarang, menakut-nakuti, menghukum berlebihan, atau memberi respons sangat minimal terhadap aktivitas mereka. Di sisi lain, orangtua dapat memberikan fasilitas untuk menumbuhkan semangat belajar anak. Yang dimaksud bukanlah dalam bentuk les (bagi anak di bawah usia sekolah), melainkan sekadar mengikuti saja prosesnya. Misalnya kalau anak mau belajar menulis, berikanlah peralatan tulis. Kalau perlu dinding rumah dilapisi kertas, agar anak dapat memanfaatkannya. Kita perlu mempelajari pola belajar anak, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang diminatinya.
Misalnya Moze. Di usia 5 tahun dia masih sulit belajar membaca di kelas. Kami menerima rapor semester pertama dengan catatan: belum bisa membaca. Ketika dalam liburan tahun itu kami naik mobil ke Bali, minat baca Moze muncul lewat banyaknya billboard yang dia lihat di pinggir jalan. Pulang dari libur, Moze sudah bisa membaca dengan lancar, termasuk kata-kata yang sulit. Dia masuk sekolah lagi sebagai anak paling baik membaca di kelas.
Kedekatan Dengan Orangtua
Ini adalah faktor terpenting untuk membangun motivasi internal anak. Prosesnya adalah sebagai berikut: kedekatan dengan orangtua memberi rasa percaya pada anak. Mereka tahu orangtuanya bisa diandalkan. Selain itu, ada tempat untuk bertanya maupun menyalurkan perasaan tidak aman (insecure) yang mereka dapat dari lingkungan.
Anak-anak yang dibesarkan dengan rasa aman yang cukup akan memiliki harga diri yang baik. Ini adalah “modal” anak memasuki dunia remaja. Harga diri yang baik berarti anak tahu mengukur dirinya dengan tepat. Dia tidak minder karena tidak bergantung pada penilaian orang lain. Dia punya identitas diri yang jelas, bukan menjadikan artis sebagai idola, misalnya.
Bagaimana kedekatan dengan orangtua dapat membangun motivasi?
Pertama
Anak-anak walaupun ada kecenderungan egois (mementingkan kesenangan diri sendiri), akan mengingat ajaran dan teladan orangtua mereka jika diajak teman melakukan hal-hal negatif. Saya menjumpai seorang remaja putra yang biarpun tidak suka latihan paduan suara tetapi tetap melakukannya karena ibunya meminta.
“Aku sayang ibuku,” kata remaja itu pada saya, “aku akan berusaha memenuhi semua yang dimintanya.” Itu dilakukannya dengan rela, bukan terpaksa. Dia percaya ibunya memberikan hal-hal yang baik untuk dia.
Kedua
Kebiasaan baik yang sudah dibangun di rumah sejak anak kecil tidak mudah dilupakan. Misalnya kalau anak-anak belajar teratur sejak kecil, ada masanya tidak usah disuruh lagi, mereka akan melakukannya sendiri. Atau jika di rumah sudah tertanam kebiasaan membaca, anak-anak secara otomatis akan mencari buku di waktu senggangnya.
Selanjutnya, hubungan yang baik antara ayah dan ibu membangun rasa nyaman dalam diri anak untuk senang tinggal di rumah. Moze menyebut istilah home sweet home. Ini akan berbeda jika anak merasa rumahnya seperti “neraka” akibat pertengkaran yang terus menerus.
Kedekatan dengan orangtua adalah benteng bagi remaja, yang akan menjauhkan dia dari pengaruh buruk dan tekanan teman sebaya. Walaupun teman sebaya adalah hal yang penting bagi remaja, dia akan mencari teman bergaul (peer group) yang cocok, yang bisa diterima oleh orangtua.
Jadi, bagaimana kita membangun motivasi dalam diri anak-anak? Mulailah ketika mereka masih sangat kecil. Mulai dengan konsisten dan berkomitmen. Kita akan menuai hasilnya kelak.
Semoga bermanfaat, wassalam.
Sumber: Majalah Bahana, Maret 2010
Dalam kenyataannya ada dua bentuk motivasi, yaitu eksternal dan internal. Yang eksternal datang dari luar diri. Artinya ada orang lain atau situasi yang mendorong seseorang itu melakukan sesuatu. Misalnya orangtua atau guru memaksa anak-siswanya untuk mengerjakan PR atau yang lain. Saat orangtua atau guru tidak ada di sana, si anak cenderung bermalas-malasan atau mengerjakan hal lain yang dia suka. Dengan kata lain, motivasi eksternal tergantung pada situasi dan mood.
Sedangkan motivasi internal muncul dari dalam diri. Kalau orangtua ingin anak belajar tanpa disuruh, sangat suka membaca, dan sebagainya, orangtua harus membangun motivasi internal. Ini dilakukan sejak anak kecil, mulai dari membangun kepercayaan anak terhadap orangtua (yang nantinya bermuara pada iman kepada Tuhan). Motivasi, baik eksternal maupun internal, kadang-kadang membutuhkan sesuatu yang buruk (penderitaan, masalah) untuk membangunnya. Dari orangtua, perlu ada komitmen, teladan, dan kreativitas.
Anak Belajar
Salah satu motivasi yang perlu dibangun dalam diri anak adalah keinginan belajar. Sebenarnya potensinya sudah ada sejak anak masih sangat kecil. Lihat saja, hampir semua bayi di bawah dua tahun yang kita jumpai pasti menunjukkan tanda-tanda pandai dan mau belajar. Mereka mau belajar makan sendiri, main bola atau yang lain, belajar menulis, membantu menyapu, dan sebagainya. Sekarang tergantung pada lingkungan, apakah orang-orang di sekitarnya membantu dia belajar atau membatasinya.
Orang dewasa tanpa sadar dapat mematikan semangat belajar anak dengan cara banyak melarang, menakut-nakuti, menghukum berlebihan, atau memberi respons sangat minimal terhadap aktivitas mereka. Di sisi lain, orangtua dapat memberikan fasilitas untuk menumbuhkan semangat belajar anak. Yang dimaksud bukanlah dalam bentuk les (bagi anak di bawah usia sekolah), melainkan sekadar mengikuti saja prosesnya. Misalnya kalau anak mau belajar menulis, berikanlah peralatan tulis. Kalau perlu dinding rumah dilapisi kertas, agar anak dapat memanfaatkannya. Kita perlu mempelajari pola belajar anak, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang diminatinya.
Misalnya Moze. Di usia 5 tahun dia masih sulit belajar membaca di kelas. Kami menerima rapor semester pertama dengan catatan: belum bisa membaca. Ketika dalam liburan tahun itu kami naik mobil ke Bali, minat baca Moze muncul lewat banyaknya billboard yang dia lihat di pinggir jalan. Pulang dari libur, Moze sudah bisa membaca dengan lancar, termasuk kata-kata yang sulit. Dia masuk sekolah lagi sebagai anak paling baik membaca di kelas.
Kedekatan Dengan Orangtua
Ini adalah faktor terpenting untuk membangun motivasi internal anak. Prosesnya adalah sebagai berikut: kedekatan dengan orangtua memberi rasa percaya pada anak. Mereka tahu orangtuanya bisa diandalkan. Selain itu, ada tempat untuk bertanya maupun menyalurkan perasaan tidak aman (insecure) yang mereka dapat dari lingkungan.
Anak-anak yang dibesarkan dengan rasa aman yang cukup akan memiliki harga diri yang baik. Ini adalah “modal” anak memasuki dunia remaja. Harga diri yang baik berarti anak tahu mengukur dirinya dengan tepat. Dia tidak minder karena tidak bergantung pada penilaian orang lain. Dia punya identitas diri yang jelas, bukan menjadikan artis sebagai idola, misalnya.
Bagaimana kedekatan dengan orangtua dapat membangun motivasi?
Pertama
Anak-anak walaupun ada kecenderungan egois (mementingkan kesenangan diri sendiri), akan mengingat ajaran dan teladan orangtua mereka jika diajak teman melakukan hal-hal negatif. Saya menjumpai seorang remaja putra yang biarpun tidak suka latihan paduan suara tetapi tetap melakukannya karena ibunya meminta.
“Aku sayang ibuku,” kata remaja itu pada saya, “aku akan berusaha memenuhi semua yang dimintanya.” Itu dilakukannya dengan rela, bukan terpaksa. Dia percaya ibunya memberikan hal-hal yang baik untuk dia.
Kedua
Kebiasaan baik yang sudah dibangun di rumah sejak anak kecil tidak mudah dilupakan. Misalnya kalau anak-anak belajar teratur sejak kecil, ada masanya tidak usah disuruh lagi, mereka akan melakukannya sendiri. Atau jika di rumah sudah tertanam kebiasaan membaca, anak-anak secara otomatis akan mencari buku di waktu senggangnya.
Selanjutnya, hubungan yang baik antara ayah dan ibu membangun rasa nyaman dalam diri anak untuk senang tinggal di rumah. Moze menyebut istilah home sweet home. Ini akan berbeda jika anak merasa rumahnya seperti “neraka” akibat pertengkaran yang terus menerus.
Kedekatan dengan orangtua adalah benteng bagi remaja, yang akan menjauhkan dia dari pengaruh buruk dan tekanan teman sebaya. Walaupun teman sebaya adalah hal yang penting bagi remaja, dia akan mencari teman bergaul (peer group) yang cocok, yang bisa diterima oleh orangtua.
Jadi, bagaimana kita membangun motivasi dalam diri anak-anak? Mulailah ketika mereka masih sangat kecil. Mulai dengan konsisten dan berkomitmen. Kita akan menuai hasilnya kelak.
Semoga bermanfaat, wassalam.
Sumber: Majalah Bahana, Maret 2010
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar